OPINI : Budaya Baca di Indonesia Terancam, Hanya 1 dari 1.000 Orang yang Gemar Membaca

- 1 Januari 2024, 12:53 WIB
Alif Alqausar, Penulis Opini
Alif Alqausar, Penulis Opini /Istimewa/

Kilasaceh.com - Dalam sebuah pernyataan yang menggambarkan kebahagiaan yang diberikan oleh kegemaran membaca, budayawan Goenawan Muhammad menyampaikan pandangannya bahwa membaca adalah sebuah pelarian sekaligus pencerahan. Ungkapan ini tercermin dalam kutipan dari buku karya foto Steve McCurry, berjudul "Steve McCurry: On Reading," yang menyatakan bahwa pembaca jarang merasa sepi atau bosan, dan bahwa membaca adalah seperti sinar yang bersinar di wajah mereka.

Namun, sayangnya, pandangan positif terhadap membaca tidak sepenuhnya tercermin dalam data literasi Indonesia. Menurut Data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia (Kemenkominfo), indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya sekitar 0,001 persen. Artinya, hanya satu dari seribu orang yang rajin membaca. Angka ini menjadi indikator literasi yang tidak baik, mengingat literasi merupakan fondasi penting untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) unggul di masa depan.

Baca Juga: Perdebatan dan Pandangan Ulama Mengenai Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam

Pentingnya literasi sebagai landasan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tidak bisa diabaikan. Semakin tinggi penguasaan iptek, semakin tinggi pula kemampuan masyarakat dalam memproduksi barang dan jasa yang bermutu. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung peningkatan minat baca di masyarakat menjadi suatu keniscayaan.

Salah satu lembaga yang memiliki peran penting dalam memajukan literasi adalah Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Namun, tantangan besar muncul, terutama terkait infrastruktur yang belum memadai. Data dari Perpusnas menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 164.610 perpustakaan, namun hanya 5,7 persen yang sudah terakreditasi A, B, dan C. Ini berarti bahwa sebagian besar perpustakaan belum memenuhi standar kualitas yang diinginkan. Padahal, kualitas perpustakaan yang baik mencerminkan kemajuan suatu negara.

Mengacu pada standar UNESCO yang merekomendasikan setiap orang minimal membaca tiga buku setiap tahunnya, rasio koleksi perpustakaan perlu seimbang dengan jumlah penduduk. Sayangnya, kenyataannya jauh dari kata ideal. Satu buku harus dinanti oleh 90 orang, yang menunjukkan ketidakseimbangan yang mencolok. Oleh karena itu, pemerataan penyebaran buku menjadi krusial dalam mendukung ekosistem literasi di Indonesia.

Untuk mengatasi tantangan ini, Perpusnas perlu bersikap inovatif. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membangun taman bacaan berstandar. Dengan adanya taman bacaan, masyarakat dapat memiliki akses yang lebih mudah dan nyaman untuk membaca. Selain itu, peningkatan literasi melalui digitalisasi juga dapat menjadi solusi, memanfaatkan teknologi untuk menjadikan bahan bacaan lebih mudah diakses.

Muhammad Syarif Bando, Kepala Perpustakaan Nasional, menekankan bahwa perpustakaan perlu bekerja sama dengan gerakan literasi untuk mendekatkan akses masyarakat ke sumber bacaan. Gerakan literasi yang dijalankan secara lokal, dekat dengan warga, dapat menumbuhkan ketertarikan masyarakat terhadap membaca. Komunitas yang terbentuk melalui gerakan literasi juga dapat berjejaring, meningkatkan dampaknya dalam meningkatkan indeks literasi.

Baca Juga: OPINI : Revolusi Diri, Kunci Perubahan Positif di Tahun Baru!

Halaman:

Editor: Anshori


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah