Tradisi Meugang Aceh: Warisan Budaya Berabad-Abad

- 4 April 2024, 17:00 WIB
Pada tradisi meugang menyambut bulan suci ramadhan 1445 H, Kota Sabang telah melakukan pemotongan ternak, dengan rincian 76 ekor sapi dan tiga ekor kerbau.
Pada tradisi meugang menyambut bulan suci ramadhan 1445 H, Kota Sabang telah melakukan pemotongan ternak, dengan rincian 76 ekor sapi dan tiga ekor kerbau. /Pemko Sabang/

Kilasaceh.com - Tradisi Meugang, sebuah warisan budaya yang telah mengakar kuat di masyarakat Aceh, terus dijaga dan dirayakan dengan penuh kebanggaan. Meugang, yang juga dikenal sebagai Makmeugang, merupakan sebuah ritual yang dimulai sejak berabad-abad yang lalu, khususnya pada masa keemasan Kerajaan Aceh di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dalam tradisi ini, hewan-hewan seperti sapi, kerbau, kambing, ayam, dan itik disembelih dalam jumlah besar, lalu dagingnya dibagikan secara gratis kepada masyarakat, terutama kepada mereka yang kurang mampu.

Mengulik Qanun 'Meukuta Alam': Landasan Hukum Tradisi Meugang di Aceh

Menurut sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi, dikutip dari akun resmi Sekretariat Majelis Adat Aceh, mengungkapkan tradisi Meugang telah berlangsung selama 400 tahun atau lebih. Sejak zaman Kesultanan Aceh, Meugang bukan hanya sekadar praktik penyembelihan hewan dan pembagian daging, tetapi juga membawa makna sosial yang mendalam. Pada masa itu, Sultan Iskandar Muda dikenal sangat peduli terhadap rakyatnya, tanpa memandang status sosial mereka. Orang-orang yang tidak mampu menjadi tanggung jawab langsung Sultan, yang kemudian mengeluarkan sebuah qanun (hukum) yang mengatur pelaksanaan Meugang. Qanun tersebut, yang dikenal dengan nama 'Meukuta Alam', memerintahkan Qadi Mua’zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi untuk mengambil dirham, kain-kain, kerbau, dan sapi untuk dipotong pada hari Meugang. Daging hasil potongan tersebut kemudian dibagikan kepada fakir miskin, dhuafa, dan orang-orang berkebutuhan khusus.

Dalam catatan sejarah, Meugang juga memiliki nilai religius yang kuat. Tradisi ini sering kali terkait dengan perayaan hari besar dalam agama Islam, seperti menyambut bulan Ramadan (dua hari sebelum Ramadan), menyambut Idul Fitri, dan menyambut Idul Adha. Praktik Meugang dijadikan sebagai bentuk rasa syukur dan ungkapan terima kasih atas kemakmuran yang diberikan Allah SWT kepada negeri Aceh, serta sebagai wujud kebersamaan dan gotong royong antar-masyarakat.

Salah satu aspek yang menarik dari tradisi Meugang adalah bagaimana ritual ini tidak hanya berfokus pada penyembelihan hewan dan pembagian daging, tetapi juga melibatkan kegiatan memasak dan menikmati hidangan bersama-sama dengan keluarga serta yatim piatu. Masyarakat Aceh menjadikan momen Meugang sebagai saat yang sangat istimewa untuk berkumpul dan berbagi kebahagiaan, yang semakin memperkuat tali silaturahmi antar-sesama.

Menurut penjelasan dari Cek Midi, dalam literatur buku 'Singa Aceh', Sultan Iskandar Muda sangat mencintai rakyatnya, baik yang berada dalam keadaan sejahtera maupun yang kurang mampu. Inilah yang menjadi dasar dari pelaksanaan Meugang sebagai sebuah tradisi yang mengedepankan nilai-nilai kepedulian sosial dan solidaritas.

Tidak hanya itu, Meugang juga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Aceh. Setiap tahunnya, masyarakat Aceh, baik yang masih tinggal di Aceh maupun yang telah menetap di tempat lain, tetap mempertahankan tradisi Meugang sebagai bagian dari warisan leluhur mereka. Praktik ini tidak hanya dilakukan di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri oleh komunitas Aceh yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Meugang di Tengah Tantangan Modernisasi: Peran Penting Masyarakat Aceh dalam Pelestarian Budaya

Saat ini, meskipun zaman telah berubah dan pola hidup masyarakat telah mengalami perubahan, tradisi Meugang tetap dijaga dan dilestarikan. Masyarakat Aceh, terutama generasi muda, terus berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi ini. Meugang tidak hanya menjadi sebuah ritual, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama.

Namun, di balik keindahan dan kekuatan tradisi Meugang, ada juga tantangan yang harus dihadapi. Perubahan pola hidup dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat modern sering kali mengancam eksistensi tradisi-tradisi budaya yang telah ada sejak lama. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Aceh untuk terus berupaya menjaga dan melestarikan tradisi Meugang agar tidak hilang begitu saja di tengah arus modernisasi yang terus mengalir.

Dengan menjaga tradisi Meugang, masyarakat Aceh tidak hanya menghormati warisan leluhur mereka, tetapi juga memperkuat identitas budaya mereka sendiri. Tradisi Meugang bukan hanya sekadar praktik penyembelihan hewan dan pembagian daging, tetapi juga sebuah cerminan dari kepedulian sosial, kebersamaan, dan kekuatan solidaritas dalam sebuah masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda Aceh untuk terus menghargai dan merawat tradisi ini agar tetap hidup dan berkembang dari masa ke masa, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kaya budaya Aceh.***

Editor: Anshori


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah