Debt Collector vs. Debitur: Tantangan Implementasi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019

- 4 Mei 2024, 08:30 WIB
Ilustrasi - Tangkapan layar video Instagram saat kawanan debt collector hendak "merampas" motor milik TNI AD yang merupakan hadiah dari Panglima TNI
Ilustrasi - Tangkapan layar video Instagram saat kawanan debt collector hendak "merampas" motor milik TNI AD yang merupakan hadiah dari Panglima TNI /Instagram @ndorobeii

Kilasaceh.com - Sejak dulu, pertarungan antara debt collector dan debitur dalam kasus penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah selalu menimbulkan kontroversi. Namun, pada tahun 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang diharapkan akan mengubah dinamika perdebatan ini. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menjadi tonggak penting dalam menentukan prosedur penarikan kendaraan bermotor yang menjadi jaminan fidusia. Namun, implementasi putusan tersebut tidaklah mudah dan masih dihadapkan pada berbagai tantangan.

Sebelum membahas tantangan implementasi putusan MK tersebut, penting untuk memahami latar belakang kontroversi yang melingkupinya. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menjadi landasan hukum utama dalam proses penarikan kendaraan bermotor dalam kasus kredit bermasalah. Pasal 15 dari undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk menjual kendaraan yang menjadi objek jaminan fidusia jika debitor tidak memenuhi kewajibannya.

Namun, terdapat perbedaan penafsiran terkait proses eksekusi atau penarikan kendaraan bermotor ini. Beberapa pihak menganggap bahwa proses tersebut harus melalui pengadilan, sementara yang lain berpendapat bahwa kewenangan ini dapat dilakukan secara langsung oleh pihak kreditur atau debt collector, terutama jika terdapat kesepakatan tentang cidera janji.

Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019: Arahan Baru dalam Penarikan Kendaraan Bermotor

Pada tahun 2019, MK mengeluarkan putusan yang diharapkan akan memberikan arahan baru dalam penarikan kendaraan bermotor dalam kasus kredit bermasalah. Putusan tersebut menyatakan bahwa pasal-pasal terkait kekuatan eksekutorial dan kesepakatan cidera janji dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian, MK menegaskan bahwa penarikan kendaraan bermotor harus dilakukan melalui pengadilan, kecuali jika terdapat kesepakatan yang jelas antara kreditur dan debitur. Putusan ini diharapkan akan memberikan perlindungan yang lebih besar bagi debitur dan mendorong penerapan prinsip-prinsip keadilan dalam proses penarikan kendaraan bermotor.

Meskipun putusan MK tersebut memberikan arahan yang jelas, implementasinya tidak serta-merta mudah. Masih terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam menjalankan putusan tersebut.

1. Perbedaan Penafsiran:

Tantangan pertama adalah perbedaan penafsiran terhadap putusan MK. Meskipun MK telah menegaskan bahwa penarikan kendaraan bermotor harus melalui pengadilan, masih terdapat perbedaan pendapat terkait teknis pelaksanaannya. Beberapa pihak masih menganggap bahwa kreditur atau debt collector memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi tanpa melibatkan pengadilan.

2. Keterbatasan Sumber Daya:

Halaman:

Editor: Anshori


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah