Network
Kilasaceh.com - Hari itu, langit Kota Banda Aceh tergantung kelabu, awan hitam menutupi matahari. Dari jendela kamarnya, Maya memandangi tetes-tetes hujan yang menari-nari di atas kaca jendela. Suara gemericik air hujan menyapu sepi di kamarnya yang kecil. Maya, seorang gadis berusia 17 tahun, duduk termenung sambil memegang buku catatannya.
Keheningan di kamarnya terputus oleh suara deru angin yang menyapu daun-daun pohon di luar. Di sudut kamarnya, ada piano kecil yang selalu menemani hari-harinya. Meskipun ia tak pernah mengambil kursus, namun setiap sentuhan jarinya di atas tuts hitam dan putih menghasilkan melodi yang menyentuh hati.
Baca Juga: CERPEN Saat Matahari Tenggelam di Pelabuhan Kecil
Maya gemar menciptakan lagu-lagu kecil yang terinspirasi dari perasaannya. Hari itu, hujan dan kesepiannya menciptakan harmoni baru yang tak pernah ia alami sebelumnya. Ia pun menggumamkan kata-kata dalam hatinya sambil memetik tuts piano dengan lembut.
"Tetes-tetes hujan, jatuh di jendela, mengalir di dalam hati yang sunyi..."
Melodi itu seperti melukiskan kesedihan dan keheningan yang tengah merajai hatinya. Tanpa sadar, kedua matanya mulai berembun, dan senyum kecil muncul di bibirnya. Ia merasa sebagai pencipta, ia bisa mengekspresikan perasaannya lewat nada-nada yang tercipta dari jemari-jemarinya.
Sambil melanjutkan permainannya, ia mendengar langkah-langkah di koridor luar kamarnya. Pintu kamarnya terbuka pelan, dan seorang wanita paruh baya muncul. Ibu Maya, seorang wanita penuh kasih dan pengertian, tersenyum melihat anaknya yang tengah terhanyut dalam melodi yang diciptakannya.
"Maya, lagu itu indah sekali. Apa yang membuatmu terinspirasi hari ini?" tanya ibunya sambil duduk di sampingnya.
Maya tersenyum dan menjelaskan, "Hujan dan keheningan. Mereka seperti bersahabat, memberikan ruang untuk melukiskan perasaanku."
