Kisah Pahit Pengungsi Rohingya dari Myanmar, Terungkap Ini Alasan Terusir dari Negaranya!

- 15 Desember 2023, 16:27 WIB
137 Pengungsi Rohingya terdampar di Kota Banda Aceh.
137 Pengungsi Rohingya terdampar di Kota Banda Aceh. /Humas Polda Aceh/

Kilasaceh.com - Sejak 14 November 2023, gelombang pengungsi Rohingya terus berdatangan ke Indonesia, khususnya di provinsi Aceh. Menurut data UNHCR Indonesia, jumlah kedatangan pengungsi Rohingya mencapai angka mencengangkan, mencapai 1.200 orang. Mereka tersebar di berbagai titik di Aceh, seperti Pidie, Bireuen, Aceh Timur, dan Sabang. Mereka melarikan diri dari krisis kemanusiaan di Myanmar yang telah berlangsung sejak beberapa dekade terakhir.

Eksodus Rohingya: Sejarah dan Akar Permasalahan

Etnis Rohingya, kelompok etnis minoritas Muslim di Myanmar, telah mengalami cobaan berat selama berabad-abad. Krisis yang mencapai puncaknya pada tahun 2017 ini memiliki akar yang dalam dalam sejarah pahit etnis ini. Pada periode 1948-1989, pemerintah Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 etnis resmi di negara tersebut. Mereka dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun sejarah mencatat bahwa mereka telah tinggal di Myanmar sejak abad ke-15.

Baca Juga: Polda Aceh Bongkar Sindikat Rohingya, 42 Tersangka Terungkap dalam Penyelundupan Imigran ke Aceh

Tidak hanya itu saja, etnis Rohingya mengalami penindasan sistematis, yang mencakup ketidakdiberian kewarganegaraan, pembatasan akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja. Bahkan desa atau kampung mereka pun terbatas. Pemerintah Myanmar menolak memberikan kewarganegaraan kepada warga Rohingya, menyebabkan sebagian besar dari mereka tidak memiliki dokumen hukum.

Pada tahun 1990-an, junta militer Myanmar mengeluarkan kartu identitas yang dikenal sebagai kartu putih kepada banyak warga Muslim, termasuk Rohingya. Kartu ini memberikan hak terbatas, tetapi tidak diakui sebagai bukti kewarganegaraan. Pada 2014, saat pemerintah Myanmar mengadakan sensus nasional yang didukung PBB, kelompok minoritas Muslim diizinkan untuk mengidentifikasi diri sebagai Rohingya. Namun, tekanan dari kelompok nasionalis Buddha membuat pemerintah mengubah pendiriannya, memaksa warga Rohingya untuk mendaftar sebagai warga Bengali.

Eskalasi Konflik dan Pembersihan Etnis

Puncak krisis terjadi pada Agustus 2017, ketika bentrokan pecah di Negara Bagian Rakhine. Kelompok militan yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) memulai kampanye brutal yang menghancurkan ratusan desa Rohingya dan memaksa ratusan ribu warga Rohingya untuk meninggalkan tanah airnya. Menurut laporan badan amal medis internasional Doctors Without Borders, setidaknya 6.700 warga Rohingya tewas dalam sebulan pertama serangan tersebut.

Baca Juga: Pj Gubernur Aceh Tanggapi Kontroversi Penolakan Pengungsi Rohingya

Pasukan keamanan Myanmar juga dituduh melakukan tindakan brutal terhadap warga sipil yang melarikan diri, bahkan menanam ranjau darat di jalur perlintasan yang digunakan oleh warga Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh. Myanmar mengklaim bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mengembalikan stabilitas di wilayah tersebut.

Genosida dan Pembersihan Etnis: Teriakan Dunia Internasional

Sejak awal tahun 2018, pemerintah Myanmar dilaporkan membersihkan desa-desa Rohingya yang ditinggalkan untuk proyek-proyek pembangunan yang kontroversial. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menjelaskan kekerasan tersebut sebagai pembersihan etnis, sementara situasi kemanusiaan dianggap sebagai bencana besar. Organisasi hak asasi manusia dan pemimpin PBB lainnya mencurigai bahwa tindakan tersebut dapat dianggap sebagai genosida.

Halaman:

Editor: Anshori

Sumber: Tempo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah